Ulfa Widya Lestari

Ulfa Widya Lestari
Aku suka sekali melihat momen saat matahari mulai terbenam. Senja itu begitu cepat berubah, memberikan pesona yang menghanyutkan, sebentar, lantas meninggalkan bumi dalam kelam. Gelapnya malam akan kulalui dengan penuh rancangan untuk hari esok, hingga matahari terbit datang dan menyapaku dengan sinarnya yang terang. ."

Thursday, September 26, 2013

Kembali Bertapa Berteman Gelap

aku mendadak ingat
kepada kertas lama seperti booklet kenangan masa SMA
pada kata-kata, tingkah, dan pemikiran yang lembut
kepada dia yang dulu pernah mengajarkan betapa indahnya makna ikhlas
seperti yang dulu Tuhan ajarkan kepadanya
hari demi hari terlewati dan kami sama-sama melangkah maju
dengan kata ikhlas yang terus aku dan dia pegang, berjalan dalam jalannya masing-masing
menyadarkan bahwa kami tidak memiliki apa-apa
tapi hanya Tuhan yang masih memegangiku

kepada dia yang menjadikan aku sedemikian dalam berpikir
merubah patokan umur menjadi kedewasaan yang menyejukkan
ketika ikhlas selalu menjadi jawaban saat Tuhan mencabut apa yang Dia pinjamkan

karena waktu adalah garis,
waktu adalah satu garis sempurna yang terus melaju tidak pernah mundur
kepada dia yang telah membuat tinta-tinta berceceran mengotori kertas putih
sekarang aku merasa rindu sedang datang

pikiran dan hatiku inginnya seluas lautan, sedalam palung mariana
bertapa di hutan mungkin dapat membantu, kalau ketenangan adalah imbalannya
bukankah bulan tidak akan terpantul sempurna pada air yang beriak?
sama.

ini namanya mungkin kasih sayang Tuhan
memelukku kembali dengan jalan yang Dia pilih
tidak tahu sampai kapan keringat dingin ini akan berlanjut
tidak tahu kapan gemetar badan ini akan berhenti
tidak tahu kapan rasa menusuk di dada ini lenyap tidak berbekas
tapi aku tahu, paling tidak aku tahu

jatuh tersandung adalah manusiawi,
darah dan nanah membanjir itu pembelajaran
rasa sakitnya menguatkan

kepada aku yang sedang bercermin di air yang keruh
tepuk pipiku sedikit pasti akan sedikit perih
karena pantas saja berputar di jalur yang sama, tidak pernah keluar

biarlah ini karma
bagaimana aku memperlakukan orang, seperti itu juga aku akan diperlakukan
tetapi sekarang,
biarlah, biarlah sudah terlanjur terjadi
mauku apa? aku lakukan apa?
sudah lanjutkan saja cerita-cerita, menikmati kehidupan
toh suatu saat semua ini sama akan menjadi kertas lembaran yang menguning
sama seperti booklet SMA

haaaah, aku jadi rindu pada langit malam yang cerah penuh kerlap-kerlip
tidak perlu lagi takut gelap, saat gelap membantu belajar tenang
suatu saat aku tidak perlu lagi menghidupkan lilin apalagi merutuki gelap,
saat dengan gelap aku bisa mendapatkan ketenangan yang aku mau
untuk kembali siap menghadapi ruangan yang penuh cahaya

tetaplah tersenyum, ulfa widya
karena serangan ini, menguatkanmu

kepada diriku sendiri yang sedang meracau




25 September 2013
20 . 27



Monday, September 16, 2013

Kosong, Koma, Jarak, Jedah, SPASI

Kalimat, ia bermakna sebab ada ruang yang mengantar untuk kita memahami kata demi kata dan makna keselurahan yang tersampaikan lewat gabungan makna katademi kata. Paragraph ia bicara tentang satu hal, namun dipersatukan oleh per-beda-an kalimat demi kalimat, yang tentu juga disusun dari baris kata demi kata.

Nyanyian, mungkinkah terdengar indah jika pada serluh waktu hanya mendengung suara-suara dan suara, melodi melodi dan melodi. Puisi, dimana terletak jiwa jika, bait demi bait bersenggama tanpa sedikit ruang untuk ber-pisah. ber-henti sejenak, ter-diam sejenak, renung-kan sejenak, sebelum berlalu kembali ke ruang dan waktu yang sama.

Kita manusia terlalu disibukan dengan ke-hidup-an yang tak hendak diam, terus-terus berpacu, terus mengisi ruang dan waktu dengan bangunan per-adab-an yang telah luput untuk diper-tanya-kan apa dan kenapa?.

Sekolah, kuliah kerja, keluarga itulah hidup sebelum ke-mati-an menjelang. Itulah manusia sebelum ia berakhir. Yang sedang berjalan, seolah semua telah menjadi alasan untuk meng-ada. Alasan, yah alasan yang paling masuk akal, sebab akal telap terpasung oleh rantai per-adab-an yang dibuat oleh manusia sendiri sebab akal telah terhegemoni untuk menarik benang sekedar utas yang ada saja, tarikterus tarik.hingga benang habis dan semua berakhir. Benang dengan ukuran dan warna yang sama.

Jedah, diam meski sejenak saja, sepertinya terasa berat sebab ke-hidup-an tidak lagi bersedia menunggu mereka yang memilih untuk ruang seperti itu. Sebab pada ke-nyata-annya, bumi, manusia dan bumi manusia telah diberi warna dengan bangunan-bangunan kehidupan yang begitu menafikan alasan-alasan ke-manusia-an untuk meng-ada.
Bagaimana mungkin, jiwa dan hakikat ke-diri-an akan ditemukan, jika tidak ada lagi tempat untuk sekedar berada di bawah pepohonan, teridiam sejenak, mengisi jedah sejenak dengan hal yang berbeda dengan hari yang telah bertandang. Yah.sebab hari kita tidak pernah bertandang, itu---itu saja, mungkin pekerjaan yang sekedar bertukar muka, juga keluarga yang berganti rupa, dan atau kehidupan yang sekedar berganti topeng belaka.

Bagaimana mungkin kita sadar adanya manusia, jika "gua terasa begitu gelap dan menakutkan untuk kita masuk kedalam, jauh,,,direlung perut bumi",sekedar men-diri-kan diri yang mencoba mengusik adanya diri. Beranikah kita bertanya sekedar menggugat keadaan diri, hendak-kah kita mencoba untuk sekedar bernostalgia seperti apa masa kecil yang mencoba memper-tanya-kan ke-ada-an di luar diri-nya.

Ruang, jedah, kosong tidak lah hampa kecuali bagi mereka yang sudah lupa bagaimana cara menjadi seorang anak kecil, seorang manusia yang begitu ingin tahu, yang begitu ingin faham tentang keadaannya, keadaan diluar dirinya.

Pemimpin, manusia adalah pemimpin, betul pada hakikatnya, tetapi sudah begitu sulit untuk memahaminya, pemimpin? Apa yang dipimpin? Bagaimana memimpin dan inginkah entitas lain dari ke-hidup-an untuk mereka di-pimpin oleh entitas bernama ke-manusia-an .



Tuesday, September 10, 2013

Kisah Guru Bijak dengan 6 Pertanyaan

Kali ini aku tulis sebuah cerita China klasik yang sangat inspiratif, penuh makna dan banyak  sekali pelajaran yang dapat kita ambil darinya. Jikalau diantara kalian  pernah membaca atau mendengarnya, anggaplah tulisan ini semata-mata hanya untuk menghidupkan kembali memori kita tentang kisah ini. Sementara bagi yang belum pernah membaca atau mendengarnya, simaklah baik-baik! mudah-mudahan kita semua bisa mengambil hikmah darinya.

Pendek kata, pernah hidup seorang guru yang sangat arif. Disela-sela waktu senggangnya, dia selalu menyempatkan diri berbicara dari hati ke hati dengan murid-muridnya. Di bawah pohon rindang, di atas tikar, duduklah mereka membentuk lingkaran. Guru yang arif itu berada ditengahnya. Mereka duduk sama rendah, terlihat betapa kehangatan yang menyelimuti mampu menyempitkan jarak diantara mereka bahkan tak lagi  ada jarak.

Sang Guru membuka percakapan dengan memberikan sebuah pertanyaan kepada murid-muridnya!
“Wahai muridku”, Tanya sang Guru
“tahukah kalian, apa yang paling dekat dengan kita?”
Para murid menjawab bersahut-sahutan
“sahabat”, “kekasih”, “orang tua”, “keluarga”…………
“Jawaban kalian Benar!” kata sang guru
“tetapi ada yang lebih benar, yaitu Nafas!”
“Muridku” Kata sang Guru melanjutkan “jangan pernah sia-siakan nafasmu. Jadikan hidupmu berguna dengan nafas mu itu”

Kemudian sang guru memberikan pertanyaan ke 2,,
“wahai muridku, tahukah kalian apa yang paling jauh dengan kita?”
“Benua xxx”, “Pulau yyy”, “Samudra zzz”, “Planet Pluto”, “matahari”……..
“jawaban kalian benar” Kata Sang Guru. tetapi ada yang lebih benar. yaitu masa lalu!”
“Siapapun, entah orang kaya, orang pintar, raja atau siapa saja, tidak ada yang sanggup pergi ke masa lalu! Maka, buat apa kita terlalu memikirkan sesuatu yang selamanya kita tidak akan bertemu lagi dengannya? Pikirkanlah bagaimana menyambut masa depan dengan sebaik-baiknya, sebab sudah pasti Dia akan mengunjungi kita”

Berlanjut ke Pertanyaan ke 3,,,
“wahai muridku, Apa yang paling besar di dunia ini?”
Mereka menjawab “Gunung”,”Gajah”,,,,,
“ jawaban kalian Benar, tetapi ada yang lebih benar! Yaitu Mimpi”.
“Tanpa bermimpi kita akan jadi kecil. kita tidak akan pernah berjumpa dengan hal-hal besar di dunia ini”

kemudian Pertanyaan ke-4,,,
“wahai muridku, apa yang paling berat di dunia ini”
“Besi”, “baja”, “batu”
“jawaban kalian benar, tetapi ada yang lebih benar”.
“Yang paling berat di dunia ini adalah tidak berkarya dan meniggalkan amanah”

lalu Pertanyaan ke-5,,,
“wahai muridku, apa yang paling tajam di dunia ini”
Mereka serentak menjawab “pedang!!!”
“ jawaban kalian hampir benar”.
“Tetapi ada yang lebih benar, yaitu tekad! Dengan tekad kalian bisa membelah apapun yang menjadi penghalangmu!”

Sampai ke Pertanyaan terakhir (ke-6)
“wahai muridku, apa yang paling ringan di dunia ini?”
“daun”,”kertas”,”plastik”, “Kain”,”angin”.
“jawaban kalian benar! Tetapi sekali lagi ada yang lebih benar, yaitu Senyum!”

Tersenyum merupakan hal paling ringan yang setiap orang bisa melakukannya, maka dari itu tersenyumlah terhadap sesama”