Ulfa Widya Lestari

Ulfa Widya Lestari
Aku suka sekali melihat momen saat matahari mulai terbenam. Senja itu begitu cepat berubah, memberikan pesona yang menghanyutkan, sebentar, lantas meninggalkan bumi dalam kelam. Gelapnya malam akan kulalui dengan penuh rancangan untuk hari esok, hingga matahari terbit datang dan menyapaku dengan sinarnya yang terang. ."

Monday, September 16, 2013

Kosong, Koma, Jarak, Jedah, SPASI

Kalimat, ia bermakna sebab ada ruang yang mengantar untuk kita memahami kata demi kata dan makna keselurahan yang tersampaikan lewat gabungan makna katademi kata. Paragraph ia bicara tentang satu hal, namun dipersatukan oleh per-beda-an kalimat demi kalimat, yang tentu juga disusun dari baris kata demi kata.

Nyanyian, mungkinkah terdengar indah jika pada serluh waktu hanya mendengung suara-suara dan suara, melodi melodi dan melodi. Puisi, dimana terletak jiwa jika, bait demi bait bersenggama tanpa sedikit ruang untuk ber-pisah. ber-henti sejenak, ter-diam sejenak, renung-kan sejenak, sebelum berlalu kembali ke ruang dan waktu yang sama.

Kita manusia terlalu disibukan dengan ke-hidup-an yang tak hendak diam, terus-terus berpacu, terus mengisi ruang dan waktu dengan bangunan per-adab-an yang telah luput untuk diper-tanya-kan apa dan kenapa?.

Sekolah, kuliah kerja, keluarga itulah hidup sebelum ke-mati-an menjelang. Itulah manusia sebelum ia berakhir. Yang sedang berjalan, seolah semua telah menjadi alasan untuk meng-ada. Alasan, yah alasan yang paling masuk akal, sebab akal telap terpasung oleh rantai per-adab-an yang dibuat oleh manusia sendiri sebab akal telah terhegemoni untuk menarik benang sekedar utas yang ada saja, tarikterus tarik.hingga benang habis dan semua berakhir. Benang dengan ukuran dan warna yang sama.

Jedah, diam meski sejenak saja, sepertinya terasa berat sebab ke-hidup-an tidak lagi bersedia menunggu mereka yang memilih untuk ruang seperti itu. Sebab pada ke-nyata-annya, bumi, manusia dan bumi manusia telah diberi warna dengan bangunan-bangunan kehidupan yang begitu menafikan alasan-alasan ke-manusia-an untuk meng-ada.
Bagaimana mungkin, jiwa dan hakikat ke-diri-an akan ditemukan, jika tidak ada lagi tempat untuk sekedar berada di bawah pepohonan, teridiam sejenak, mengisi jedah sejenak dengan hal yang berbeda dengan hari yang telah bertandang. Yah.sebab hari kita tidak pernah bertandang, itu---itu saja, mungkin pekerjaan yang sekedar bertukar muka, juga keluarga yang berganti rupa, dan atau kehidupan yang sekedar berganti topeng belaka.

Bagaimana mungkin kita sadar adanya manusia, jika "gua terasa begitu gelap dan menakutkan untuk kita masuk kedalam, jauh,,,direlung perut bumi",sekedar men-diri-kan diri yang mencoba mengusik adanya diri. Beranikah kita bertanya sekedar menggugat keadaan diri, hendak-kah kita mencoba untuk sekedar bernostalgia seperti apa masa kecil yang mencoba memper-tanya-kan ke-ada-an di luar diri-nya.

Ruang, jedah, kosong tidak lah hampa kecuali bagi mereka yang sudah lupa bagaimana cara menjadi seorang anak kecil, seorang manusia yang begitu ingin tahu, yang begitu ingin faham tentang keadaannya, keadaan diluar dirinya.

Pemimpin, manusia adalah pemimpin, betul pada hakikatnya, tetapi sudah begitu sulit untuk memahaminya, pemimpin? Apa yang dipimpin? Bagaimana memimpin dan inginkah entitas lain dari ke-hidup-an untuk mereka di-pimpin oleh entitas bernama ke-manusia-an .



No comments:

Post a Comment