Kalimat, ia
bermakna sebab ada ruang yang mengantar untuk kita memahami kata demi kata dan
makna keselurahan yang tersampaikan lewat gabungan makna katademi kata.
Paragraph ia bicara tentang satu hal, namun dipersatukan oleh per-beda-an
kalimat demi kalimat, yang tentu juga disusun dari baris kata demi kata.
Nyanyian,
mungkinkah terdengar indah jika pada serluh waktu hanya mendengung suara-suara
dan suara, melodi melodi dan melodi. Puisi, dimana terletak jiwa jika, bait
demi bait bersenggama tanpa sedikit ruang untuk ber-pisah. ber-henti sejenak,
ter-diam sejenak, renung-kan sejenak, sebelum berlalu kembali ke ruang dan
waktu yang sama.
Kita manusia terlalu
disibukan dengan ke-hidup-an yang tak hendak diam, terus-terus berpacu, terus
mengisi ruang dan waktu dengan bangunan per-adab-an yang telah luput untuk
diper-tanya-kan apa dan kenapa?.
Sekolah,
kuliah kerja, keluarga itulah hidup sebelum ke-mati-an menjelang. Itulah
manusia sebelum ia berakhir. Yang sedang berjalan, seolah semua telah menjadi
alasan untuk meng-ada. Alasan, yah alasan yang paling masuk akal, sebab akal
telap terpasung oleh rantai per-adab-an yang dibuat oleh manusia sendiri sebab akal
telah terhegemoni untuk menarik benang sekedar utas yang ada saja, tarik…terus …tarik….hingga
benang habis dan semua berakhir. Benang dengan ukuran dan warna yang sama.
Jedah, diam
meski sejenak saja, sepertinya terasa berat sebab ke-hidup-an tidak lagi
bersedia menunggu mereka yang memilih untuk ruang seperti itu. Sebab pada
ke-nyata-annya, bumi, manusia dan bumi manusia telah diberi warna dengan
bangunan-bangunan kehidupan yang begitu menafikan alasan-alasan ke-manusia-an
untuk meng-ada.
Bagaimana mungkin,
jiwa dan hakikat ke-diri-an akan ditemukan, jika tidak ada lagi tempat untuk
sekedar berada di bawah pepohonan, teridiam sejenak, mengisi jedah sejenak
dengan hal yang berbeda dengan hari yang telah bertandang. Yah….sebab
hari kita tidak pernah bertandang, itu---itu saja, mungkin pekerjaan yang
sekedar bertukar muka, juga keluarga yang berganti rupa, dan atau kehidupan
yang sekedar berganti topeng belaka.
Bagaimana
mungkin kita sadar adanya manusia, jika "gua terasa begitu gelap dan
menakutkan untuk kita masuk kedalam, jauh,,,direlung perut bumi",sekedar
men-diri-kan diri yang mencoba mengusik adanya diri. Beranikah kita bertanya
sekedar menggugat keadaan diri, hendak-kah kita mencoba untuk sekedar
bernostalgia seperti apa masa kecil yang mencoba memper-tanya-kan ke-ada-an di
luar diri-nya.
Ruang, jedah,
kosong tidak lah hampa kecuali bagi mereka yang sudah lupa bagaimana cara
menjadi seorang anak kecil, seorang manusia yang begitu ingin tahu, yang begitu
ingin faham tentang keadaannya, keadaan diluar dirinya.
Pemimpin,
manusia adalah pemimpin, betul pada hakikatnya, tetapi sudah begitu sulit untuk
memahaminya, pemimpin? Apa yang dipimpin? Bagaimana memimpin dan inginkah
entitas lain dari ke-hidup-an untuk mereka di-pimpin oleh entitas bernama
ke-manusia-an .
No comments:
Post a Comment